KORUPSI
DIPANDANG DARI ETIKA KRISTEN
Korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa Inggris yaitu corrupt,
yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang
berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah dan jebol. Menurut
Bernardi (1994) istilah korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu perbuatan
tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian.
Sementara Hermien H.K. (1994) mendefinisikan korupsi sebagai kekuasaan tanpa
aturan hukum. Oleh karena itu, selalu ada praduga pemakaian kekuasaan untuk
mencapai suatu tujuan selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan kekuasaan
tersebut.
Korupsi ialah tindakan mengumpulkan atau mengggelapkan
kekayaan negara untuk kepentingan pribadi atau golongan. Korupsi dipandang
sebagai sebuah patologi sosial sebab korupsi pada saat yang sama merampas
hak hidup orang lain. Para koruptor adalah mereka yang menciderai kesejahteraan
warga negara lainnya sebab mereka bertindak berdasarkan dorongan untuk menumpuk
kekayaan pribadi dan mengabaikan kesejahteraan bersama. Inilah bahaya laten
yang bisa mengancam societas bangsa Indonesia. Para founding father
bangsa Indonesia telah lama menyadari bahaya laten korupsi ini. Melalui pasal
33 UUD 1945 mereka dengan tegas menempatkan kesejahteraan seluruh bangsa di
atas kepentingan pribadi atau golongan. Karena itu monopoli dan aneka praktik
lainnya yang hanya berorientasi pada kepentingan pribadi dilarang sebab
mengakibatkan kesejahteraan semua warga negara diabaikan. Pada hakekatnya makna
yang tersirat dari bunyi pasal tersebut tidak memberikan secelah
kesempatan pun bagi warga negara untuk melakukan praktik korupsi.
Dengan demikian korupsi bukanlah mentalitas yang diwariskan oleh para pendahulu
bangsa ini. Korupsi yang menggurita lebih karena kurangnya budaya malu dari
setiap orang untuk melakukan praktik korupsi. Budaya malu untuk korupsi menjadi
penting sebab budaya malu hendak menjelaskan sebuah persoalan penting
yang menyentuh ranah etis. Malu untuk korupsi mencerminkan
kedalaman moralitas seseorang. Memasyarakatkan budaya malu untuk korupsi boleh
dikatakan sebagai sebuah langkah awal yang mesti dimiliki oleh setiap
pribadi agar gurita korupsi tidak menjalar semakin luas serta cengkramannya
tidak semakin dalam. Korupsi yang mencederai kehidupan bersama sungguh sangat
mengancam persatuan bangsa yang semestinya dijaga dan dipertahankan.
Korupsi mudah memecah belah kesatuan bangsa sebab korupsi
bisa membuat kesejahteraan bersama suatu bangsa tergadaikan. Penempatan
semangat komunitarian ini mengadung makna yang mendalam bagi setiap orang
khususnya bagi para aparatur negara yang rentan dengan penyalahgunaan
jabatannya. Di sana terbersit sebuah panggilan untuk bertindak dan bertanggung
jawab terhadap keutuhan bangsa. Maka setiap tindakan korupsi (yang selalu
bertendensi egosentris) merupakan tindakan yang melukai prinsip kemanusiaan dan
mengancam kesatuan bangsa. Dengan kata lain korupsi merampas kehidupan karena
gagal melihat orang lain sebagai sesama. Prinsip altrusitis ini membawa kita
pada realitas bangsa Indonesia yang sebagian besar warga negaranya berada di
bawah garis kemiskinan. Wajah-wajah lusuh para gembel, anak jalanan, dll
sejatinya mengugah setiap pribadi untuk bertindak secara manusiawi. Inilah
panggilan paling luhur yang dimiliki oleh manusia. Penampakan wajah sesama yang
menampilkan penderitaan mengajak kita untuk bertindak dan berbagi.
Melalui Emanuel Levinas (Bertens, 2006: 318-328) kita diajak untuk menyelami
dan menceburkan diri dalam keluhuran manusia yang direpresentasikan dengan
penampakan wajahnya. Dengan demikian mengisap sesama dan membiarkannya
menderita merupakan hal yang berseberangan dengan gagasan Levinas. Gagasan
Levinasian ini mestinya menjadi sebuah bahan pertimbangan bagi para aparatur
negara untuk tidak melakukan korupsi. Bahwa dengan korupsi mereka justru
menjadi musuh bagi panggilan sejati ini. Persoalannya ialah para koruptor
tak membelalakkan mata untuk melihat realitas. Kepekaan mereka tak terusik melihat
realitas kemiskinan bangsa ini sebab mereka hanya memikirkan diri sendiri.
Bahkan tragisnya mereka mengumbar janji tanpa realisasi. Kesadaran akan
realitas tersebut semestinya menjadi pelecut yang menggugah mereka untuk lebih
berorientasi pada kesejahteraan semua orang.
Korupsi di Indonesia benar-benar sangat sistemik, bahkan
korupsi yang terjadi sudah berubah menjadi vampir state karena hampir
semua infra dan supra struktur politik dan sistem ketatanegaraan sudah terkena
penyakit korupsi. Agenda pemberantasan korupsi sampai detik ini hanyalah
dijadikan komoditas politik bagi elit politik, lebih banyak pada penghancuran
karakter (character assasination) bagi elit yang terindikasikan korupsi
dibanding pada proses hukum yang fair dan adil. Law enforcement bagi
koruptor juga menjadi angin lalu, padahal tindakan korupsi yang dilakukan
koruptor sangatlah merugikan rakyat Masduki (2002) dalam Klitgaard, dkk (2002).
Fenomena korupsi tersebut diatas menurut
Baswir (1996) pada dasarnya berakar pada bertahannya jenis birokrasi
patrimonial di negeri ini. Dalam birokrasi ini, dilakukannya korupsi oleh para
birokrat memang sulit dihindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan dan
birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat kuatnya
pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini, sehingga
cenderung masih mentabukan sikap oposisi. Karakteristik negara kita yang
merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan
lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
Menurut Susanto (2001) korupsi pada level
pemerintahan daerah adalah dari sisi penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian
perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan pribadi.
Sementara tipe korupsi menurut de Asis (2000) adalah korupsi politik, misalnya
perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun
pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian
konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang).
Tipe korupsi yang terakhir yaitu clientelism (pola hubungan langganan).
Baswir (1993) menjelaskan ada 7 pola korupsi yang sering
dilakukan oleh oknum-oknum pelaku tindak korupsi baik dari kalangan pemerintah
maupun swasta, yaitu:
1. Pola konvensional
2. Pola upeti
3. Pola komisi
4. Pola
menjegal order
5. Pola
perusahaan rekanan
6. Pola
kuitansi fiktif dan
7. Pola
penyalahgunaan wewenang.
Sementara menurut Fadjar (2002) pola terjadinya korupsi dapat
dibedakan dalam tiga wilayah besar yaitu:
1.
Mercenery abuse of power, penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu
yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap, mengurangi
standar spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up).
Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non politis dan
dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi kedudukannya.
2.
Discretinery abuse of power, pada tipe ini
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan
istimewa dengan mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya keputusan
Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan daerah/keputusan Walikota/Bupati yang
biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama dengan kawan/kelompok (despotis)
maupun dengan keluarganya (nepotis).
3.
Idiological abuse of power, hal ini
dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan dan kepentingan tertentu dari
kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak
tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga ekskutif, dimana
kelak mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal ini yang
sering disebut politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang sangat
berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang mendukung telah
mendapatkan kompensasi.
Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Sistem
pemerintahan dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan
2. Belum
adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat
peraturan dan perundang-perundangan yang tegas.
Faktor lainnya menurut Fadjar (2002) adalah tindak lanjut
dari setiap penemuan pelanggaran yang masih lemah dan belum menunjukkan
“greget” oleh pimpinan instansi. Terbukti dengan banyaknya penemuan yang
ditutup secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas serta tekad dalam
pemberantasan korupsi dan dalam penuntasan penyimpangan yang ada dari semua
unsur tidak kelihatan. Disamping itu kurang memadainya sistem
pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada masyarakat yang menyebabkan
banyak proyek yang hanya sekedar pelengkap laporan kepada atasan.
Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya
korupsi adalah:
1. Aspek
prilaku individu organisasi
2. Aspek
organisasi
3. Aspek
masyarakat tempat individu dan organisasi berada.
Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor penyebab
terjadinya korupsi adalah:
1. Motif,
baik motif ekonomi maupun motif politik
2. Peluang,
dan
3. Lemahnya
pengawasan.
Sungguh memprihatinkan, negara Indonesia mempunyai masyarakat
yang religius tetapi korupsi merajalela dalam kehidupan kita. Di gereja setiap
ada ibadah penuh, begitu juga dengan masjid, tetapi korupsi jalan terus seperti
tak ada yang bisa menghentikannya. Hal ini terjadi karena ajaran agama salah
dihayati. Korupsi adalah penyakit yang ditimbulkan oleh pemisahan ajaran agama
dari perilaku keseharian manusia (sekulerisasi). Memang, korupsi bisa saja
dilakukan semua orang baik yang beragama maupun yang tidak beragama, tetapi
ajaran-ajaran agama dengan jelas mengajarkan moralitas yang baik, dengan jelas
pula mengharamkan praktek-praktek korupsi, mencuri dan sejenisnya.
Korupsi
adalah merupakan masalah yang kompleks. Ia berakar dan bercabang di seluruh
masyarakat. Entah di organisasi yang berorientasi keagamaan maupun sekuler.
Dalam arti luas, korupsi mencakup praktek penyalahgunaan kekuasaan dan
pengaruh. Bentuk korupsi yang paling umum adalah “nilep dana”. Mencuri
(menilep) uang kas, mark-up dana proyek dan sebagainya. Hal tersebut sudah
biasa dilakukan di negara kita ini. Di mata internasional, negara ini tidak
bisa mengelak bahwa Indonesia termasuk the big three dalam kasus korupsi. Tidak
ada bidang kehidupan di negara ini yang belum tercemar virus korupsi jenis ini,
baik yang kecil maupun yang besar.
Belum
lagi model korupsi yang sifatnya “suap” atau “sogok” yaitu memberi sesuatu
kepada pejabat atau bahkan pegawai negeri sipil biasa, agar ia melakukan
sesuatu yang sebenarnya wajib dilakukannya secara cuma-cuma. Pemberian itu
tidak terbatas pada uang, tetapi bisa berbentuk mobil, tanah, perhiasan, rumah,
seks, makanan dan minuman, emas, batu mulia, saham, dan lain-lain. Padahal,
seorang pegawai negeri berkewajiban memberikan public service kepada masyarakat
tanpa pamrih.
Dalam kehidupan bermasyarakat secara umum, korupsi dipandang
sebagai tindakan menyimpang yang berhubungan dengan perbuatan curang yang bertentangan
dengan norma-norma atau prinsip-prinsip etika kehidupan yang berlaku di
masyarakat. Oleh karena itu dibuat peraturan-peraturan yang mengatur mengenai
tindakan korupsi dalam kehidupan bermasyarakat dalam suatu negara. Lalu
bagaimanakah sudut pandang agama berbicara mengenai korupsi? Jika ditinjau dari
sudut pandang secara umum tindakan korupsi sudah berarti negatif, maka sudut
pandang agama pun setali tiga uang dengan sudut pandang umum karena sudut
pandang agama merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan terbentuknya
norma-norma maupun prinsip-prinsip etika dalam kehidupan bermasyarakat. Namun,
ulasan kali ini hanya akan membahas sudut pandang agama Kristiani.
Untuk menanggulangi terjadinya korupsi yang bermacam-macam
jenisnya ini diperlukan strategi khusus dari semua bidang, meskipun untuk
menghilangkan sama sekali praktik korupsi adalah sesuatu yang mustahil, tetapi
setidak-tidaknya ada upaya untuk menekan terjadinya tindak korupsi. Strategi
yang dibentuk hendaknya melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan pejabat
struktur pemerintahan.
Bagaimana Alkitab memandang korupsi?
Alkitab mencatat ada kasus yang terkenal pada jaman Yesus
yang berhubungan dengan suap, yaitu Yudas Iskariot, ia menerima 30 keping uang
perak untuk harga seorang Mesias (baca: Yesus). Meskipun pada waktu itu istilah
suap mungkin belum muncul, tetapi inilah salah satu model suap. Kemudian Yudas
menjual Yesus kepada imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah,
untuk selanjutnya dibunuh. Sungguh, transaksi ini mirip dengan jual-beli.
Kami mencatat, ada bagian dari Yudas Iskariot dalam setiap pribadi kita. Mungkin diantara anda tidak setuju dengan pendapat ini. Tetapi mari kita pelajari karakter Yudas ini yang dikenal sebagai salah-satu murid Yesus yang memegang uang-kas pelayanan Yesus bersama murid-muridNya. Alkitab dengan jelas menulis bahwa ia adalah seorang pencuri.
Yohanes 12:6 ….. karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya.
Kami mencatat, ada bagian dari Yudas Iskariot dalam setiap pribadi kita. Mungkin diantara anda tidak setuju dengan pendapat ini. Tetapi mari kita pelajari karakter Yudas ini yang dikenal sebagai salah-satu murid Yesus yang memegang uang-kas pelayanan Yesus bersama murid-muridNya. Alkitab dengan jelas menulis bahwa ia adalah seorang pencuri.
Yohanes 12:6 ….. karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya.
Berapapun besarnya
kekuasaan/ wewenang atau seberapa terbatasnya kekuasaan, korupsi adalah salah
satu penyalahgunaan kekuasaan. Yudas diberi wewenang untuk mengelola uang kas,
dan ia menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya. Yudas dipanggil Yesus
untuk menjadi muridNya, tetapi kedekatannya dengan Yesus tidak juga membawanya
menjadi baik, karena memang ia sengaja menjauhkan dirinya daripada mengikuti
teladan-teladan yang diajarkan Yesus.
Kita
diberi berkat dari Allah secara materi, namun apakah kita lebih mencintai harta
daripada Tuhan sendiri, sehingga kita mungkin punya kecenderungan menjadi
pencuri seperti Yudas.
Kasus korupsi lainnya terdapat dalam Kisah Para Rasul 5:1-11 yang menceritakan kisah Ananias dan Safira. Demikianlah Firman Tuhan “Ada seorang lain yang bernama Ananias. Ia beserta istrinya Safira menjual sebidang tanah. Dengan setahu istrinya ia menahan sebagian dari hasil penjualan itu dan sebagian lagi dibawa dan diletakkannya di depan kaki rasul-rasul. Tetapi Petrus berkata : “Ananias, mengapa hatimu dikuasai Iblis, sehingga engkau mendustai Roh Kudus dan menahan sebagian dari hasil penjualan tanah itu? Selama tanah itu tidak dijual, bukankah itu tetap kepunyaanmu, dan setelah dijual, bukankah hasilnya itu tetap dalam kuasamu? Mengapa engkau merencanakan perbuatan itu dalam hatimu? Engkau bukan mendustai manusia tetapi mendustai Allah.” Ketika mendengar perkataan itu rebahlah Ananias dan putuslah nyawanya. Maka sangatlah ketakutan semua orang yang mendengar hal itu. Lalu datanglah beberapa orang muda; mereka mengapani mayat itu, mengusungnya keluar dan pergi menguburnya. Kira- kira tiga jam kemudian masuklah isteri Ananias, tetapi ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Kata Petrus kepadanya: “Katakanlah kepadaku, dengan harga sekiankah tanah itu kamu jual?” Jawab perempuan itu: “Betul sekian.” Kata Petrus: “Mengapa kamu berdua bersepakat untuk mencobai Roh Tuhan? Lihatlah, orang-orang yang baru mengubur suamimu berdiri di depan pintu dan mereka akan mengusung engkau juga keluar.” Lalu rebahlah perempuan itu seketika itu juga di depan kaki Petrus dan putuslah nyawanya. Ketika orang-orang muda itu masuk, mereka mendapati dia sudah mati, lalu mereka mengusungnya ke luar dan menguburnya di samping suaminya. Maka sangat ketakutanlah seluruh jemaat dan semua orang yang mendengar hal itu.
Kasus korupsi lainnya terdapat dalam Kisah Para Rasul 5:1-11 yang menceritakan kisah Ananias dan Safira. Demikianlah Firman Tuhan “Ada seorang lain yang bernama Ananias. Ia beserta istrinya Safira menjual sebidang tanah. Dengan setahu istrinya ia menahan sebagian dari hasil penjualan itu dan sebagian lagi dibawa dan diletakkannya di depan kaki rasul-rasul. Tetapi Petrus berkata : “Ananias, mengapa hatimu dikuasai Iblis, sehingga engkau mendustai Roh Kudus dan menahan sebagian dari hasil penjualan tanah itu? Selama tanah itu tidak dijual, bukankah itu tetap kepunyaanmu, dan setelah dijual, bukankah hasilnya itu tetap dalam kuasamu? Mengapa engkau merencanakan perbuatan itu dalam hatimu? Engkau bukan mendustai manusia tetapi mendustai Allah.” Ketika mendengar perkataan itu rebahlah Ananias dan putuslah nyawanya. Maka sangatlah ketakutan semua orang yang mendengar hal itu. Lalu datanglah beberapa orang muda; mereka mengapani mayat itu, mengusungnya keluar dan pergi menguburnya. Kira- kira tiga jam kemudian masuklah isteri Ananias, tetapi ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Kata Petrus kepadanya: “Katakanlah kepadaku, dengan harga sekiankah tanah itu kamu jual?” Jawab perempuan itu: “Betul sekian.” Kata Petrus: “Mengapa kamu berdua bersepakat untuk mencobai Roh Tuhan? Lihatlah, orang-orang yang baru mengubur suamimu berdiri di depan pintu dan mereka akan mengusung engkau juga keluar.” Lalu rebahlah perempuan itu seketika itu juga di depan kaki Petrus dan putuslah nyawanya. Ketika orang-orang muda itu masuk, mereka mendapati dia sudah mati, lalu mereka mengusungnya ke luar dan menguburnya di samping suaminya. Maka sangat ketakutanlah seluruh jemaat dan semua orang yang mendengar hal itu.
Kisah tersebut dengan jelas menceritakan bahwa Ananias dan
Safira berbuat tidak jujur karena ingin mengambil keuntungan yang bukan haknya
dan melebihi porsi yang seharusnya. Dengan kata lain berbuat kecurangan berupa
korupsi. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa perbuatan Ananias dan Safira
bukan mendustai manusia tetapi mendustai Allah dan akhirnya menghasilkan maut
bagi Ananias dan Safira seperti yang tertulis dalam Roma 6:23 yaitu “Sebab upah
dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus
Yesus, Tuhan kita.”
Selain itu, dalam Firman Tuhan juga dikatakan bahwa “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak, Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat ” (Matius 5:37). Ayat ini berhubungan dengan dusta dan biasanya korupsi selalu disertai dengan dusta karena pasti ada hal yang disembunyikan yang disebabkan mengambil sesuatu atau lebih yang bukan porsi hak kepemilikannya.
Selain itu, dalam Firman Tuhan juga dikatakan bahwa “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak, Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat ” (Matius 5:37). Ayat ini berhubungan dengan dusta dan biasanya korupsi selalu disertai dengan dusta karena pasti ada hal yang disembunyikan yang disebabkan mengambil sesuatu atau lebih yang bukan porsi hak kepemilikannya.
Alkitab telah memberi gambaran yang
sangat jelas bagaimana seorang Kristen bersikap dan berprilaku sebagai seorang
yang percaya kepada Allah. Nilai-nilai yang paling hakiki bagi etika kristen
adalah kasih dan keadilan. Ketika sikap dan prilaku sesorang didasarkan pada kasih
dan keadilan, dia telah mengaplikasikan etika Kristen dengan baik. Etika ini
akan lebih sempurna ketika orang yang dia perlakukan menerapkan kasih dan
keadilan bagi orang lain. Sehingga pada akhirnya, semua orang mendasarkan
hidupnya dan mengharapkan akibat dari hidupnya pada kasih dan keadilan. Tentu
saja ada nilai-nilai penting lainnya yang dicatat oleh Alkitab, tetapi kedua
nilai ini sudah mewakili semua nilai yang ada.
Mengapa korupsi sering dilakukan umat beragama?
Ada permasalahan teologis terletak di sini, yaitu
orang-orang secara keseluruhan belum memahami dan menyadari arti Salib yang
sesungguhnya. Pengertian Salib ialah Yesus yang menderita untuk keselamatan
ciptaan-Nya. Orang yang bersedia menderita dengan tidak mengikut cara duniawi
untuk memperoleh kehidupan “layak, mewah, serba wah” itulah hidup dalam Salib.
Salib berarti menderita. Untuk mencapai kepuasan di dunia, kita tidak mengikuti
arus duniawi. Korupsi, jelas merupakan “penanggalan” atas penghayatan kita
tentang Salib sebab kebahagiaan/ kepuasan tidak dapat terpenuhi hanya dari segi
materi saja.
Tuhan Yesus sudah memberi teladan bagi kita bagaimana hidup yang berarti bagi orang lain yaitu melalui jalan salib. Sekarang, kita pun diundang mengikutiNya. Yesus Kristus dalam pengajaranNya, menyatakan “Berbahagialah orang yang menderita oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Matius 5:10). “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman:”Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” (Ibrani 13:5)
Tuhan Yesus sudah memberi teladan bagi kita bagaimana hidup yang berarti bagi orang lain yaitu melalui jalan salib. Sekarang, kita pun diundang mengikutiNya. Yesus Kristus dalam pengajaranNya, menyatakan “Berbahagialah orang yang menderita oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Matius 5:10). “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman:”Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” (Ibrani 13:5)
Sumbangan agama Kristen yang paling berharga bagi moral
anti-suap adalah memproyeksikan Tuhan sebagai contoh hakim yang adil. Tuhan tak
akan korupsi atau terpengaruh oleh hadiah atau kedudukan seorang terdakwa.
Seorang hakim yang adil dan tak berpihak, tidak akan memperoleh berkat (baca:
materi) dari si pemberi suap di dunia fana, melainkan dari Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar